Wednesday, September 12, 2007

To Be Named Novel - Part-1

Kisah ini dimulai pada suatu malam setelah aku berburu senja. Saat itu pertengahan April dan nampaknya gerimis musim hujan kemarin masih tersisa. Awan mendung menggantung meneteskan rintik-rintik hujan yang menetes lembut membasahi wajahku. Aku tersenyum, nampaknya alam pun bersimpati terhadap kesenduan hatiku.
Aku selalu menyukai hujan, Aku tak memungkiri bahwa kekasihku yang dulu lah yang mengajariku untuk melihat lebih dekat dengan kehalusan-kehalusan alam. Dan bagiku, berdansa dengan perempuan yang kucintai di bawah percikan gerimis yang menebarkan bau tanah yang basah adalah sangat romantis.
Aku mulai berjalan menyusuri jalan Dago di kota Bandung. Di sekelilingku, beberapa muda mudi bergandengan dan berpelukan di bawah payung saling memadu kasih, berbagi canda tawa. Apakah mereka pernah merasa kehilangan? Tahukah mereka bahwa banyak orang terkena skizofrenia karena gagal dalam cinta? Aku tidak yakin, wajah mereka memancarkan sinar kepolosan, biarlah mereka menikmati anugerah cinta yang diberikan Tuhan.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sebuah restoran jepang. Aku tidak lapar, tetapi ada sesuatu yang memanggilku di sana. Dulu, aku cukup sering makan bersama mantan kekasihku di foodcourt. Aku selalu memesan masakan jepang dan jus alpukat, sementara dia memesan bakso malang dan milkshake. Huh… lagi-lagi aku terkenang masa lalu, ya sudahlah… tidak ada salahnya untuk duduk sebentar di restoran itu. Aku bisa memesan tempura atau ubur-ubur dingin serta minuman hangat sambil merokok beberapa batang menikmati gerimis hujan. Toh aku punya banyak waktu.
Aku melangkahkan kaki ke tengah restoran kemudian memandang sekeliling. Ruang restoran nampak cukup penuh. Sejumlah pasangan dan keluarga nampak menyantap makanannya sambil saling berbicara. Suara alunan musik, obrolan-obrolan, derai tawa dan tangisan seorang anak kecil memenuhi ruang tengah restoran ini.
“Pak, maaf… restoran penuh dan banyak meja yang sudah dipesan” suara pelayan restoran kepadaku, seorang laki-laki setengah baya dalam balutan jas, membuyarkan lamunanku. Nampaknya ia tidak terlalu suka penampilanku yang berantakan. Rambut dan jaketku basah sementara celana jeans dan sepatu kets-ku dipenuhi bercak-bercak tanah. Aku tahu restoran ini restoran adalah berbintang, tapi aku bersikeras untuk tinggal, toh aku punya cukup uang untuk membayar tagihanku. Mataku terantuk pada sebuah meja kecil yang terhalang pilar restoran. Sebuah kursi masih kosong.
“Masih ada kursi kosong di sana” aku menjawab lelaki itu tanpa memandangnya.Tanpa menunggu jawaban pelayan itu aku berjalan menuju kursi tersebut. Lelaki itu menggerutu pendek kemudian mengibaskan tangannya.
Aku berjalan melewati meja demi meja. Sesosok mata perempuan kecil menatapku aneh. Aku menjulurkan lidahku kemudian ia membalas dengan menggembungkan pipinya. Nampaknya ia tidak takut terhadapku. Aku tersenyum manis kepadanya, kemudian dia tertawa, mengeluarkan beberapa celoteh kata sambil menjulurkan tangan kecilnya mencoba menggapaiku. Sepertinya orang tuanya tidak terlalu suka dengan kelakuanku.
Aku meneruskan langkahku menuju kursiku, namun aku terdiam ragu saat tiba di tujuan. Ternyata ada dua kursi lain di meja itu, dan sudah terisi. Seorang pria dalam balutan kemeja duduk menghadap seorang wanita berkerudung, si pria nampak menikmati makanannya sementara sang wanita tengah melamun sambil memandang hujan ke luar jendela. Minumannya masih penuh belum tersentuh sama sekali. Ada seikat mawar kuning di hadapannya.
Aku meletakkan tangan di punggung kursi kosong itu dan bertanya pada si pria, “Maaf, apakah kursi ini sudah terisi?”
Yang ditanya mengangkat kepala, menunjukkan wajah terganggu, namun kemudian menggelengkan kepala. Aku tersenyum berterima kasih, kemudian duduk. Si wanita memalingkan wajahnya melihatku, aku tersenyum… akan tetapi senyumku memudar dengan cepat. Wanita itu sama terkejutnya denganku. Seseorang dari masa lalu... astri...

--- to be continued ---