Saturday, July 12, 2008

Cisitu, Oktober 2008

Aku menghentikan sepeda motorku di depan rumah kosmu. Gerimis sudah lama turun semenjak aku mulai berangkat dari rumahku di Cibaduyut. Mendung sudah menggelayuti kota Bandung semenjak kepulanganku dari Kalimantan dua hari yang lalu. Sesaat aku, apakah ini waktu yang tepat untuk mengunjungimu? Berdiri di ambang pintu bercat hijau, memandang hiasan pintu berwarna kuning syahdu, tanganku terangkat hendak mengetuk pintu kamarmu.

Kini aku ragu, haruskah aku berbalik arah pulang kembali? Hatiku bimbang, ada perasaan kuat yang menarikku untuk mengunjungimu, tetapi aku terlalu takut untuk bertemu kembali denganmu.Seandainya kuketuk pintu ini, kau melihat melalui jendela siapa yang datang, kemudian kau membukakan pintu. Apa yang mungkin kau pikirkan? Seseorang dari masa lalu, yang pernah terang-terangan mencintaimu, kemudian mundur dan berhubungan dengan wanita lain, lalu sekarang kembali lagi ke duniamu?

Bisa saja aku beralasan, “Aku kangen dengan teman-temanku di Bandung semenjak aku meninggalkan kota ini untuk bekerja di Kalimantan enam bulan yang lalu.” Lantas kau bilang, “Mengapa aku yang kau cari? Mengapa harus aku? Bukan teman-teman yang lain?” Kemudian aku menjawab, “Bukankah kita sahabat?”

Ya! kita hanya sahabat, tidak ada sesuatu yang khusus diantara kita. Aku tidak pernah menggenggam hangatnya tanganmu, memeluk tubuh ringkihmu, dan menghapus air matamu dikala kau menangis. Waktu bergulir lambat semenjak pertemuan pertama kita di kampus tujuh tahun yang lalu. Aku menyukaimu semenjak pertama kali melihat senyum manismu. Ada perasaan kuat yang tertarik dari lubuk hatiku ketika aku melihat senyum yang mengembang diantara dua lesung pipimu. Aku tidak tahu siapa namamu walau kita mengambil kelas yang sama, tapi aku tahu dan mengerti, bahwa aku mencintaimu.

Gerimis masih belum berhenti, rambutku basah, dan kepalaku sudah mulai pusing. Aku masih tertegun di depan pintu kamarku. Aku memang pengecut, seseorang lelaki dengan hati yang lari. Tiba-tiba terdengar suara gaduh dari suara televisi yang menyala di kamarmu diiringi dengan derai tawamu.

Aku masih belum lupa dengan suaramu. Suara ringan lembut yang mengucapkan namamu ketika aku menyorongkan tangan untuk berkenalan denganmu pertama kali. Kau sungguh punya senyum malaikat. Bahkan seribu kuntum bunga lily takkan sanggup menggambarkan cantik wajahmu.

Aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu kamarmu dua kali. Aku tidak peduli, aku ingin melihat wajahmu, aku merindukan tawa canda kita dulu saat masih duduk di bangku kuliah. Bisa jadi kau akan menyambutku dengan uluran tangan untuk bersalaman. Akan terasa ganjil, tapi memang kita hanya sahabat walau kita sama-sama tahu bahwa aku menyukaimu. Kita akan mengobrol sebentar di teras depan rumahmu, kita akan saling bercerita mengenai masa-masa yang hilang diantara kita. Kemudian kau akan bilang sudah waktunya aku pulang karena hari sudang menjelang sore.

Aku tidak ingin pulang, aku tidak ingin kehilangan saat-saatku yang sangat berharga ini terlalu cepat. Tidak…. tidak… aku tidak akan menyambut uluran tanganmu terlalu cepat. Ketika kau membukakan pintu, aku akan bilang, “Gerimis turun, bolehkan aku berteduh di rumahmu?” Keningmu akan berkerut bingung, sebelum engkau menjawab aku akan bilang lagi, “Kepalaku sakit, bolehkan aku pinjam handukmu sebentar?” Kau tidak akan punya pilihan untuk membiarkanku masuk. Mungkin terkesan memaksa, tetapi aku sudah pernah berbuat bodoh untuk mendekatimu, dan aku tidak akan ragu untuk mengulanginya lagi.

Apakah kau masih ingat sewaktu ulang tahun temanmu, Nuy, yang kesembilan belas? Aku mendengar dari teman-temanku bahwa kau menghadiri perayaan ultahnya di Hoka-Hoka Bento Jl. Merdeka. Kau sudah tiba di sana , kemudian aku menyusulmu dengan menggunakan bus kota . Aku memasuki pelataran restoran, kemudian mengucapkan selamat ulang tahun kepada Nuy yang bingung karena bahkan dia tidak mengenalku. Nuy memberikan selembar uang seratus ribu agar aku memesan makanan. Terasa memalukan ditraktir orang yang tidak aku kenal. Tetapi aku tidak peduli. Awalnya terasa canggung, tapi kemudian suasana mencair. Aku bisa mengobrol dengannya, denganmu, dan dengan teman-temanmu. Setelah malam, aku mengantarmu menuju angkutan kotamu. Mungkin tiga jam waktu kita bersama saat itu adalah tiga jam waktu biasa seperti waktu yang terus berputar dalam hidupmu. Tapi ketika itu, tiga bersamamu lah yang memutar waktuku, memutar hidupku.

Jadi, apa yang mesti kukatakan ketika aku memasuki rumahmu? Kau pasti akan bertanya, “Sedang apa di Cisitu?” Mengandung nada tidak suka melihatku. Rumahku bukan satu-satunya rumah temanku di daerah Cisitu. Kau pun tahu bahwa ada beberapa rumah temanku di wilayah ini. Bahkan setidaknya, aku bisa berteduh di bawah beberapa pohon rindang di sepanjang jalan Cisitu.

Aku mencoba tidak tersinggung dengan sambutanmu yang tidak ramah. “Aku kangen sama kamu”. Mungkin kata-kata itu terucap terlalu cepat. Tapi bukankah kejujuran lebih baik dari semua alasan? Lagi pula sudah terlalu lama kata itu tercekat di tenggorokanku setiap kali bertemu denganmu dulu. Cepat atau lambat, kata itu pasti terucap.

“Aku ambilkan handuk untukmu, mau kubuatkan kopi?”, katamu seraya beranjak untuk mengambil handuk di toilet. Kau berusaha mengalihkan pembicaraan ini. “Terima kasih, apakah aku mengganggu?”. Kau memalingkan wajahmu sekilas memandangku sambil tersenyum, “Tidak, aku sedang menonton televisi sendirian.” Kau menyerahkan handukmu kemudian berbalik untuk membuatkan kopi untukku.

Suara dua denting sendok terdengar menuangkan bubuk kopi lalu diikuti suara air mengalir memasuki cangkir dan nyaring sendok mengaduk kopi. Aku memandang punggungmu. Sepanjang perjalanan aku mereka-reka warna baju apa yang kaukenakan. Mungkinkah kau menggunakan warna kuning kesukaanmu? Atau kau menggunakan cardigan merah lembut yang senada dengan kerudungmu? Apakah rumahmu masih sama dengan rumahmu yang dulu? Kasur kecil dengan sprai putih, perobatan yang minimalis, radio tape dengan beberapa kaset lagu kesukaanmu, komputer kesayanganmu yang sudah melambat, namun kau sudah terlanjur menyayanginya sehingga tidak tega untuk membuangnya. Kamu sungguh aneh, menyayangi dan menamai barang-barang milikmu sendiri. Tapi justru kepribadianmu yang seperti itulah yang membuatku semakin menyukaimu.

Dan sekarang, astaga…. Mengapa semua tepat seperti yang aku bayangkan? Bahkan wajahmu tak berubah semenjak kita bertemu tiga tahun yang lalu. Kau menyorongkan cangkir kopiku dan berkata, “Jadi, bagaimana kabarmu?"


* * *

Gerimis sudah semakin deras dan belum ada jawaban dari ketukanku. Jantungku semakin berdebar. Pintumu tidak tertutup rapat, haruskah aku masuk tanpa seijinmu? Kepalaku semakin sakit dan kuputuskan untuk mendorong pintumu. Deru suara vespa yang masuk ke halaman rumahmu menghentikan tindakanku. Sang pengemudi melepas helmnya dan bertanya, “Cari siapa Mas?”.

“Tidak, saya salah alamat, saya pikir ini rumah teman saya, maaf, permisi.” Aku bergegas kembali ke sepeda motorku dan memacunya menembus gerimis di kotaBandung. Hari minggu siang nanti pesawatku terbang membawaku kembali ke Balikpapan. Mungkin baru tiga bulan ke depan aku kembali pulang ke Bandung. Maaf, sekali lagi hatiku lari menuju neraka-neraka yang kuciptakan sendiri. Tiga bulan lagi genap empat tahun semenjak kita bertemu untuk terakhir kalinya.

1 comment:

Tama said...

Boleh jg nih, tp sekali2 bikin dg pangeran dan putri hidup bahagia selamanya..he2