Thursday, July 31, 2008

Rubrik Jomblo Edisi 4

All you people who say, "I love you" when you have no clue what love is exactly!

What is love? When we claim that it's love that we have for someone, are we correct?

Something to ponder upon...

Mungkin anda akrab dengan tipikal dialog sbb :

X : “Hey… lama gak ketemu, gimana? Udah nikah belum?”

Y :”mmmm…. belum”

X : “Haaaahh… udah kepala 3 belum nikah juga? Apa sih yang kamu cari? Cinta? Hari gini masih mikirin cinta ???!!! Umur kamu udah berapa? Kamu udah bukan anak 17 taon lagi…. Itu kamu keburu kendor. Udah umur segini itu kamu cuma dipake kencing doang? Trus sampe kapan kamu mau nyari cinta? Sampe umur 40? 50? Iya kalo dapet, lah kalo nggak? Udah deh, aku punya temen, iya sih udah duda 1 anak, tapi orangnya baik kok, lumayan mapan. Aku kenalin ya? Sapa tau cocok"

JLEB! JLEB! JLEB! JLEB!

Dialog tersebut membuktikan kepada dunia bahwa orang yang bertanggung jawab atas meningkatnya persentase kasus bunuh diri wanita single di atas 30 tahun sering kali para sahabatnya sendiri. Hal itu diperparah dengan strategi tukang jual obat cina kaki lima : Pastikan calon pasien (baca=massa yang mengerubungi) merasa bahwa panu yang dimiliki mereka merupakan aib, kemudian sodorkan salep murah tidak jelas sebagai solusi cerdas.

By the way pada rubrik ini saya tidak akan membahas panu, atau analogi single woman thirty something dengan panu. Yang ingin saya bahas adalah sebuah topik klasik, cinta

Sepenting itukah cinta? Buat beberapa orang mungkin tidak. Seperti dialog di atas. Hari gini masih mikirin cinta? Atau komentar seorang sahabat terhadap seorang teman yang sedang dimabuk cinta. “Apa? Lu mau kawin sama dia? Kalian kan belum lulus sma? Dia kan belum kerja? Trus kalian mau makan apa? Cinta? Makan tuh cinta!!!”

Yap! Buat sebagian wanita, mungkin cinta tidak terlalu penting. Lagi pula dalam kasus sebagian besar rumah tangga di Indonesia, hubungan pernikahan tidak dilandasi oleh cinta, tapi sebagai legalisasi hubungan seksual diantara sepasang manusia saja.

Lihat tipikal ibu rumah tangga Indonesia, pergerakan mereka tidak jauh dari dapur, sumur & kasur. Dan biasanya yang paling digaris bawahi adalah yang terakhir : kasur! Hal ini mengakibatkan terbentuknya konstruksi sosial yang memojokkan kaum wanita sebagai objek seksualitas belaka.

Dan yang paling parah, mereka ternyata tidak keberatan! Banyak diantara mereka yang berpikir: “Hari gini masih mikirin cinta? Ah paling2 mentoknya diencos-encos bentar, yang penting uang belanja lancar”

Mereka tidak peduli apabila suami mereka edi tansil (baca=ejakulasi dini tanpa hasil). Buat saya hal tersebut menyedihkan, tidak hanya untuk cinta, tetapi juga untuk seks.

Sex is not everything, but sex without love is nothing

Saya ingin melihat dari sudut pandang yang lain. Buat saya sikap meremehkan arti cinta tersebut bisa jadi merupakan ekses dari keputusasaan akibat penantian berkepanjangan akan cinta. Bukan kah cinta itu sesuatu yang sempurna? Bagi saya, mungkin single men & women thirty something justru adalah orang2 yang avonturir, mencari soulmate-nya sampai ke ujung dunia & batas waktu demi kesempurnaan cinta.

Mungkin untuk pria thirty something, mereka bisa melarikan diri dengan alasan mencari karir & kehidupan yang mapan terlebih dahulu baru kemudian berpikir tentang cinta. Walaupun mereka tidak bisa melawan kodrat seperti contoh di bawah :

kalo cowok ganteng jomblo
cewek-cewek bilang: pasti dia perfeksionis
kalo cowok jelek jomblo
cewek-cewek bilang: sudah jelas…kagak laku…

Hal yang berbeda dialami kaum wanita, dalam konstruksi sosial masyarakat Indonesia yang gemah ripah loh jinawi, wanita lajang setengah baya identik dengan pendosa. Dan hal tersebut sukses ditanamkan sejak dini oleh para pendahulu kita, example :

Masa balita :

Sewaktu kita kecil ketika menjelang tidur, ibu kita biasanya mendongeng kisah pengantar tidur. Mungkin teman2 kelahiran angkatan 80an masih mengenai cerita klasik seperti Kancil & Timun Mas, Keong Mas, Bawang Putih & Bawang Merah, yang biasanya dikutip langsung oleh orang tua kita dari kaset Sanggar Cerita yang didahului jingle :

Mari bermain dengan sanggar cerita, sambil menulis & membaca

la la la…. Di sanggar cerita!!!! (ascending mode) la la la

Dan jingle masing2 cerita, example :

Bawang putih… dan bawang merah…

Dua gadis yang… jadi bunga desa…

Tapi teman2 kelahiran angkatan 90an ke atas bisa lebih mengenal dongeng pengantar tidur tipikal barat seperti putri salju, kisah 1001 malam, Cinderella dll. Sekilas hal tersebut normal, padahal orang tua kita sedang melakukan doktrinisasi kepada penerus bangsa Indonesia. Contoh pada kisah Cinderella, para kakak tiri Cinderella digambarkan sebagai perawan2 tua yang dengki dengan kecantikan Cinderella. Kemudian mereka juga digambarkan sebagai wanita gatel yang berebut mengakui sepatu kaca di tangan pangeran sebagai milik mereka. Lebih parah lagi, mereka (baca=perawan tua) digambarkan sebagai wanita berkaki kapal induk, dengan jari jempol semua!!! Dengan no kaki di atas 45, hanya si cantik Cinderella yang memiliki ukuran kaki wanita normal ukuran 37-38. FOR GOD’S SAKE! Kayaknya ada sejuta wanita dengan kaki berukuran 37-38 dengan wajah “Mitnait Sale” deh…. Pangerannya aja yang melakukan diskriminasi dengan melakukan pencarian di “Area Terbatas, Cantik Only”.

Masa kanak2 :

Sewaktu kita SD & SMP guru2 dengan stereotype perawan tua identik dengan guru galak, dengki terhadap siswi2 cantik terutama yang sudah punya pacar di lingkungan sekolah, killer, menjual text book & LKS dengan harga rata2, cenderung memaksa, serta berlebihan.

Notes: Buat teman2 yang pernah sekolah di smp 3 bandung mungkin mengenal salah satu guru yang dimaksud, yang biasa menulis kata Tuyul! di samping nilai 0.

Walaupun sebenarnya saya cenderung setuju dengan generalisasi kejam bahwa guru stereotype perawan tua memenuhi kriteria tersebut, tetapi hal tersebut menafikan guru2 wanita dengan suami edi tansil sebagai tersangka kasus kejahatan sejenis.

Masa remaja :

Segala tindak tanduk wanita yang bertentangan dengan norma masyarakat diindentikkan dengan menghalangi jodoh. Contoh :

Hei… jangan duduk di depan pintu! bisi nontot (mencegah, penj) jodoh!

(Btw benarkah penulisannya “nontot”? Maaf saya bukan orang Sunda, btw you’ve got what I mean right? Forget it, just keep the flow)

Hei… jangan duduk di atas bantal, bisi bisulan, susah cari jodoh!

Hei… jangan ngomong kayak gitu, pamali! susah cari jodoh!

Intinya, generasi tua sudah melakukan teror terselubung, bahwa para perawan tua telah melakukan kejahatan di masa lalu. Mirip konsep dosa asal, tapi tidak akan saya perinci lagi karena topiknya terlalu sensitif.

Masa dewasa :

Perawan tua & janda2 identik dengan “Big Goss” dalam pergaulan ibu rumah tangga di tukang sayur setempat. Lucunya, mereka sendiri jadi bahan gosip arisan grup haji kloter sekian angkatan sekian kecamatan demikian. “Eh, si mbak xxx kan belum nikah ya? Tapi kok cowo2 yang datang ke rumahnya suka gunta-ganti… jangan2…. kikikik… (giggle)” Mereka mengabaikan kemungkinan bahwa yang datang adalah tukang kredit panci, debt collector, tukang cek meteran listrik & pdam, kurir narkoba, atau tukang tambal ban. Tidak penting profesi mereka apa, yang penting bisa jadi bahan nge-gossss.

Kembali ke topik awal, alasan menunda pernikahan bagi wanita setengah baya cenderung sulit diterima masyarakat. Padahal jelas pria berbeda dengan wanita. Ada perbedaan konsep mencinta antara pria dan wanita.

Pria memandang cinta sebagai tindakan (to love as a verb), tidak seperti wanita yang menganggap cinta melibatkan perasaan. To love as a verb mengandaikan cinta tidak dibumbui oleh “hal yang sia2” (baca=romantisme). Romantisme merupakan hal yang muncul belakangan kala ada ukuran atas apa yang disebut fungsional (perbuatan) dan dekoratif (sifat, benda). Cinta sebagai elemen romantis (dengan coklat dan mawar) merupakan produk masyarakat industrial yang menganggap romantis identik dengan sifat feminim, tidak berdaya guna, lebih mengacu pada perasaan. Mungkin apa yang disebut patriarkis muncul dari pembagian ini, bahwa pria mencinta dengan perbuatan (to act), sementata perempuan mencintai dengan perasaan (to feel).

Dari konsep tersebut, bisa ditarik benang merah bahwa wanita lebih kompleks, karena mereka mencintai dengan perasaan. Bandingkan dengan pria yang memandang cinta sebagai genjot-genjotan atau encos-encosan. Maka wajar banyak kaum wanita karir ibukota yang menunda perkawinan, demi arti kesempurnaan cinta.

Udara panas memanaskan dan membuat kami berpencar ke segala penjuru. Di tengah segala guncangan alam yang menimpa kami, semoga hati ini tidak akan pernah membeku. Kami senantiasa mengingat tulusnya cinta yang kami cari. Karena tiada alasan bagi siapa pun untuk tidak mendapatkan cintanya dengan cara apa pun.

Regards,

Sahrial


pdf download

No comments: